Dakwah Nafsiyah
Filosofis Dakwah Nafsiyah
Disusun Oleh:
Mia Rasyidawati : 1601341110
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM 2016
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Salawat serta salam tak lupa kami haturkan untuk baginda Nabi Muhammad S.A.W berserta keluarga dan para sahabat beliau dari dulu, sekarang, hingga akan datang. Dengan berkat rahmat dan karunia Allah S.W.T saya bisa menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “Filosofis Dakwah Nafsiyah”. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Fahriansyah, S.Ag, M.Ag selaku dosen mata kuliah Filsafat Dakwah yang telah memberikan saya tugas untuk membuat tulisan mengenai filosofis dakwah. Saya berharap tulisan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pemahaman kita tentang dakwah nafsiyah. Semoga tulisan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf, apabila dalam tulisan ini terdapat kesalahan atau kata-kata yang kurang berkenan. saya pun menyadari tulisan ini jauh dari kata sempurna karenanya, saya meminta kritik dan saran untuk kedepannya agar saya bisa membuat tulisan yang lebih baik lagi.
Banjarmasin, 03 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI HAL
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Latar Belakang 1
Dasar Hukum Dakwah Nafsiyah 3
Uraian Masalah
Pengertian Dakwah Nafsiyah 4
Metode Dakwah Nafsiyah 5
Hakikat Dakwah Nafsiyah 8
Filosofis Nafsiyah (Jiwa) 8
Simpulan 9
Referensi 9
Latar Belakang
Filsafat dalam perkembangannya mempunyai andil yang besar dalam berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu terapan maupun ilmu teori. Banyak ilmu pengetahuan yang mengggunakan filsafat untuk bagian dari pembahasannya, seperti Filsafat pendidikan, Filsafat Ekonomi, Filsafat Agama, Filsafat Islam dan Filsafat Dakwah. Tentu dalam hal tersebut filsafat berperan untuk membahas nilai-nilai hakikat yang terkandung dalam setiap ilmu pengetahuan. Misalnya, filsafat pendidikan tentu yang dibahas adalah hakikat pendidikan. Begutu juga dengan filsafat dakwah tentu yang jadi pembahasannya adalah hakikat dakwah, nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah itu sendiri.
Seperti pengertian filsafat itu sendiri, menurut Hasbullah Bakri, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan pengetahuan bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Dalam kaitan itu, maka filsafat dakwah dapat diberi pengertian sebagai kajian filsafat Islam yang mendalam tentang status, tujuan dan hakikat dakwah. filsafat dakwah mendiskusikan persoalan-persoalan mendasar yang timbul dari proses dakwah, untuk ditemukan jawaban yang mendalam dari persoalan filsafat dalam dakwah. Pembahasan filsafat dakwah bukanlah semata-mata mengenai materi dan pesan dalam dakwah yang didekati secara filosofis, melainkan berkaitan dengan keutuhan dakwah sebagai substansi kegiatan orang beriman yang menjadi dasar pertumbuhan dan pelahiran ilmu dakwah.
Filsafat dakwah adalah sutau kajian dengan berbagai dimensi. Di satu pihak filsafat dakwah merupakan bagian dari disiplin ilmu dakwah dan di pihak lain, filsafat dakwah menjadi bagian dari filsafat Islam. Menurut pandangan Dzikron Abdullah , filsafat dakwah tidak lebih dari sekedar cara berfikir yang diterapkan untuk memahami secara mendalam dan mendasar segala hal mengenai dakwah. Oleh karena itu, ia berpendapat, filsafat dakwah pada dasarnya berasal dari keilmuan dakwah. Ilmu dakwah itu sendiripun mempunyai pembahasan yang luas, mulai dari teori-teori dakwah, prinsip-prinsip dakwah, konteks dakwah, dan metodelogi dakwah. Dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba memaparkan tentang konteks dakwah yang terfokus pada dakwah nafsiyah yang tak lepas dari segi filsafat. Lebih tepatnya tulisan sederhana akan membahas mengenai filosofis dakwah nafsiyah. Dakwah nafsiyah itu sendiri, secara sederhana memiliki arti dakwah terhadap diri sendiri. Menurut penulis, dakwah nafsiyah ini sangat penting diketahui kemudian diamalkan oleh seorang Da’i ataupun calon Da’i. Karena ada pepatah mengatakan, menasehati orang lain itu mudah, menasehati teman sendiri sulit, dan yang lebih sulit adalah menasehati diri sendiri. Seorang penulis novel dengan nama pena Tere Liye, dalam novelnya yang berjudul “Pulang” juga mengatakan “Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme, ketidakpedulian, ambisi, rasa takut, pertanyaan, dan keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja”. Dari kata mengalahkan diri sendiri itulah menurut penulis quotes novel tersebut sarat akan makna dakwah nafsiyah. Kemudian penulis juga akan memaparkan dasar hukum dakwah nafsiyah, pengertian hingga filosofis yang terkandung dalam dakwah nafsiyah. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Dasar Hukum Dakwah Nafsiyah
يأَ ايُّهَا الذين ءامنوا ْ قُواْ أَنفُسكمْ وَ اَهْلِيكُمْ نَارًا وَ قوْدُها الناسُ وَالحِجَا رَةُ عَليْها مللآئِكَةُ غِلاَظٌ شِدَا دٌ لاّ يَعْصُوْنَ اللهَ
مآ ا اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤ مَروْن.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim, ayat: 6)
Dari ayat di atas kita dapat dipahami bahwa memelihara diri sendiri itu lebih diutamakan artinya dakwah terhadap diri sendiri itu harus.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّا هَا. فأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَا هَا.
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketaqwaan” (Q.S. As-Syams, ayat: 7-8)
Dari surah As-Syams dapat dipahami bahwa dalam jiwa atau diri seseorang ada dua potensi kebaikan dan keburukan maka dari itu penting untuk kita berdakwah terhadap jiwa kita sendiri.
ياايُّهَا الَّذِيْنَ ءَا مَنوْا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُوْن.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. As-Saf, ayat: 2)
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْاما لاَتَفْعَلُوْنَ.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. As-Saf, ayat: 3)
أتَأ مُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَ اَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الكِتَا بَ, اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ.
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab(taurat)? Maka tidakkah kamu berfikir?” (Q.S. Al-Baqarah, ayat:44)
Dari kedua surah di atas yaitu Surah As-Saf dan Surah Al-Baqarah dapat dipahami bahwa sebelum melakukan dakwah terhadap orang lain maka harus terlebih dahulu kita benahi diri kita. Kita tidak diperbolehkan untuk lebih dahulu menyeru kebaikan pada orang lain tetapi kita sama sekali tidak berusaha untuk melakukan kebaikan tersebut. Dari ayat-ayat Alquran inilah maka tercipta konteks dakwah nafsiyah.
Uraian
Pengertian Dakwah Nafsiyah
Menurut konteks bahasa dakwah nafsiyah adalah gabungan dari dua kata dakwah dan nafsiyah, yang dapat dipahami secara sederhana memiliki pengertian berdakwah terhadap diri sendiri atau (intra personal), sebagai upaya untuk membangun kualitas dan kepribadian diri agar menjadi lebih baik. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada diri individu seseorang menuju jalan yang di ridhoi Allah. Dalam hal ini yang menjadi fokus utama sasaran dakwahnya adalah Nafsiyah yaitu jiwa itu sendiri dalam artian sederhana. Karena yang menjadi objek dakwahnya adalah nafs maka sudah sepatutnya kita harus memahami siapa dan bagaimana nafs ini. Jika diperhatikan secara seksama hadits-hadits Rasulullah yang memuat kata nafs akan terlihat bahwa lafal ini digunakan dalam makna yang cukup beragam. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pembahasan nafs dalam kaitannya dengan kehidupan manusia cukup penting menurut Allah dan Rasulnya.
Dalam rangkaian hadits Rasulullah penggunaan kata nafs dapat ditemukan dalam makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), ,aupun ihsas (sensation) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku. Selain dalam makna diatas, kata nafs didalam hadits terkadang juga digunakan dalam makna zat/esensi manusia yang memiliki kemampuan untuk menilai atau memberi tanggapan terhadap berbagai hal. Lebih lanjut, zat ini pula yang membuat manusia terdorong untuk berusaha mewujudkan keinginan-keinginan yang ada dallam dirinya dengan memanfaatkan berbagai cara atau sarana yang kemungkinan dapat membantunya meraih hal-hal tersebut. Selanjutnya, kata nafs juga dipakai dalam makna ruh, yaitu yang dengannya manusia bisa hidup di atas dunia ini. Dengan kata lain jika nafs ini lepas dari badannya maka seketika itu pula ia akan terlepas dari kehidupan yang sedang dijalaninya. Di dalam Alquran dan hadits Rasulullah cukup banyak disinggung tentang kesucian nafs dalam makna ini, di samping besarnya dosa bagi orang yang mencoba menghilangkannya, baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, tanpa alasan yang dapat dibenarkn syariat. Setelah memahami dan menerti objek dakwahnya maka akan lebih mudah kita untuk melakukan dakwah itu sendiri. Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara manusia (sebagai dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan rohaninya tersebut secara baik dan konsisten dalam rangka meraih kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Metode Dakwah Nafsiyah
Dalam uraian mengenai metode dakwah nafsiyah adalah:
Menuntut Ilmu
مَنْ اَرَادالدُنيَا فَعَلَيْهِ بالْعلْمِ, وَمَنْ ارَا دَالاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بالعلمِ, وَمَن اَرَدَهُمَا فَعَليْه بالعلمِ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehiudupan akhirrat maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”
Dengan berlandaskan hadits diatas maka sangatlah penting menuntut ilmu, ilmu adalah prioritas utama kita dalam menjalani kehidupan. Apalagi jika kita ingin melakukan dakwah, maka harus dengan ilmu. Begitu pula dengan dakwah nafsiyah maka kita juga harus mempunyai bagaimana mungkin kita akan mampu memperbaiki diri kita sendiri tanpa didasari ilmu. Tanpa ilmu, kita tidak akan mengenal diri kita sendiri, kita tak mampu membedakan mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Karenananya metode yang pertama untuk dakwah adalah menuntut ilmu.
Muhasabah Diri
يا ايُهاالذيْنَ آمنو اتَقُوا اللهَ وَالتَنْظُرْ نَفْسُ ما قدَّمَتْ لِغَدٍ, وَتَّقُوا اللهَ, اِنّاللهَ خَبيرٌ بما تعْملوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari akhirat, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Hasyr, ayat: 18)
Dengan surah ini hendaknya agar kita mampu memperbaiki diri maka sering-seringlah muhasabah diri, apa yang telah kita siapkan untuk bekal diakhirat nanti, dan dosa apa-apa saja yang telah kita perbuat sehingga kita menyadari bahwa diri kita harus memperbaiki setiap saat. Dengan muhasabah diri, kita lebih mudah untuk melakukan dakwah nafsiyah, kita lebih mudah untuk berubah menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Maka muhasabah diri adalah salah satu metode dakwah nafsiyah, yang tujuannya agar kita selalu memahami bahwa kita adalah hamba Allah. Maka seyogyanya seorang hamba tentu akan merasa takut membuat Allah marah terhadap kita, karenanya kita akan mudah menjauhi hal-hal yang dilarang Allah. Dan dengan sering muhasabah diri kita akan selalu berusaha memperbaiki diri, yang akan teraplikasikan dengan akhlak kita yang semakin baik.
Banyak Berdzikir
يآ ايُّها الذينَ ءامنوا اذْكُروااللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah) dengan dzikir yang banyak”. (Q.S. Al-Ahzab, ayat: 41)
Metode dakwah nafsiyah selanjutnya adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah, karena dengan memngingat Allah jiwa kita damai, dengan dzikir kita juga menjadi dekat dengan Allah. Dan kedekatan dengan Allah adalah sebuah nikmat yang sangat istimewa. Karenanya jika kita dekat dengan Allah kiat akan lebih mudah mencintai Allah, jika kita sudah mencintai Allah maka semua perintah-Nya kita kerjakan dengan ikhlas, dan hal tersebut tentu akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita, sebab jiwa kita adalah milik Allah. Jiwa yang senantiasa mengingat Allah tentu akan terlihat dari perilaku yang baik.
Itulah tiga metode yang menurut penulis metode utama untuk mencapai keberhasilan dakwah nafsiyah, dan masih banyak lagi metode untuk dakwah nafsiyah, namun dalam tulisan ini hanya tiga hal tersebut yang dapat penulis paparkan. Jika tiga metode tersebut sudah dilakukan secara istiqomah, maka untuk metode yang lainnya mudah saja dilakukan.
Hakikat Dakwah Nafsiyah
Dalam hal hakikat dakwah nafsiyah tidak lepas dari ilmu tasawuf. Karena dalam ilmu tasawuf dipelajari mengenai pengenalan diri yang tak lepas dari makna dakwah nafsiyah. Menurut penulis, hakikat dari dakwah nafsiyah agar kita mampu mengenal, memahami, dan mengamalkan ajaran islam secara benar. Dalam mengenal Islam tentu yang pertama kali kita kenal adalah dua kalimat Syahadat. Dan ketika kita memahami apa makna dua kalimat syahadat kita akan menemukan makna yang terkandung dalam dua kalimat syahadat adalah Makrifat dan Ibadah. Makrifat adalah mengenal Allah dan Ibadah adalah mengahambakan diri, mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Kemudian bagaimana kita akan mendapatkan dua hal yang terkandung dalam kalimat Syahadat tersebut ? jawabannya adalah dengan menuntut ilmu yang mana merupakan metode dakwah nafsiyah yang pertama. Bagaimana mungkin kita akan mengenal Allah tanpa menuntut ilmu. Bagaimana mungkin kita akan beribadah dengan benar seperti yang dicontohkan Rasulullah tanpa menuntut ilmu. Jika kita sudah mengenal, memahami dua kalimat syahadat maka kita akan mudah mengerjakan rukun islam yang selanjutnya. Sebab kita telah paham apabila kita meninggalkan sholat, puasa, zakat, itu akan merusak syahadat, karena dalam syahadat menagndung makna ibadah tadi.
Filosofis Nafsiyah (Jiwa)
Jiwa adalah harta orang kaya
لَيْسَ الْغِنَي عنْ كَثْرضةشالْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَي غِنَي الْنَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan memiliki banyak harta, tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa” (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas sudah jelas bahwa orang yang jiwanya kaya adalah orang kaya yang sesungguhnya. Dengan hadits tersebut harta sebanyak apapun tidak akan mampu menandingi kekayaan sebuah jiwa.
Jiwa yang tenang jiwa penghuni surga
يأَ يَّتُهَا انَّفسُ المُطْمَئِنَّةُ. اِرْجِعِي الي رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فادْخُلي في عِبادي. وَدْخُلي جَنّتِيز
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridho-Nya. Maka masuklah dalam jama’ah hamba-hambaku. Dan masuklah kedalam syurgaku” (Q.S. Al-Fajr, ayat:27-30)
Dengan ayat diatas maka dapat kita pahami bahwa kunci penghuni surga itu ada pada jiwa seseorang, jika jiwanya bersih, tenang, dan damai maka di telah kembali kepada Allah, dan jiwa yang tenang adalah ciri penghuni syurga.
Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan sederhana ini, dapat kita ambil dari kata-kata sufi (ahli tasawuf) yaitu; مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“ Barangsiapa mengenali dirinya, maka sesungguhnya ia mengenali Tuhannya”.
Dan hubungannya dengan dakwah adalah, bagaimana seorang Da’i akan mengenali Mad’unya, jika ia tidak mengenal dirinya sendiri.
Referensi
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Jumu’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Solo: Era Intermedia, 1997.
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Aagama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009.
Saad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, 2007.
Disusun Oleh:
Mia Rasyidawati : 1601341110
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM 2016
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Salawat serta salam tak lupa kami haturkan untuk baginda Nabi Muhammad S.A.W berserta keluarga dan para sahabat beliau dari dulu, sekarang, hingga akan datang. Dengan berkat rahmat dan karunia Allah S.W.T saya bisa menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “Filosofis Dakwah Nafsiyah”. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Fahriansyah, S.Ag, M.Ag selaku dosen mata kuliah Filsafat Dakwah yang telah memberikan saya tugas untuk membuat tulisan mengenai filosofis dakwah. Saya berharap tulisan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pemahaman kita tentang dakwah nafsiyah. Semoga tulisan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf, apabila dalam tulisan ini terdapat kesalahan atau kata-kata yang kurang berkenan. saya pun menyadari tulisan ini jauh dari kata sempurna karenanya, saya meminta kritik dan saran untuk kedepannya agar saya bisa membuat tulisan yang lebih baik lagi.
Banjarmasin, 03 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI HAL
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Latar Belakang 1
Dasar Hukum Dakwah Nafsiyah 3
Uraian Masalah
Pengertian Dakwah Nafsiyah 4
Metode Dakwah Nafsiyah 5
Hakikat Dakwah Nafsiyah 8
Filosofis Nafsiyah (Jiwa) 8
Simpulan 9
Referensi 9
Latar Belakang
Filsafat dalam perkembangannya mempunyai andil yang besar dalam berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu terapan maupun ilmu teori. Banyak ilmu pengetahuan yang mengggunakan filsafat untuk bagian dari pembahasannya, seperti Filsafat pendidikan, Filsafat Ekonomi, Filsafat Agama, Filsafat Islam dan Filsafat Dakwah. Tentu dalam hal tersebut filsafat berperan untuk membahas nilai-nilai hakikat yang terkandung dalam setiap ilmu pengetahuan. Misalnya, filsafat pendidikan tentu yang dibahas adalah hakikat pendidikan. Begutu juga dengan filsafat dakwah tentu yang jadi pembahasannya adalah hakikat dakwah, nilai-nilai yang terkandung dalam dakwah itu sendiri.
Seperti pengertian filsafat itu sendiri, menurut Hasbullah Bakri, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan pengetahuan bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Dalam kaitan itu, maka filsafat dakwah dapat diberi pengertian sebagai kajian filsafat Islam yang mendalam tentang status, tujuan dan hakikat dakwah. filsafat dakwah mendiskusikan persoalan-persoalan mendasar yang timbul dari proses dakwah, untuk ditemukan jawaban yang mendalam dari persoalan filsafat dalam dakwah. Pembahasan filsafat dakwah bukanlah semata-mata mengenai materi dan pesan dalam dakwah yang didekati secara filosofis, melainkan berkaitan dengan keutuhan dakwah sebagai substansi kegiatan orang beriman yang menjadi dasar pertumbuhan dan pelahiran ilmu dakwah.
Filsafat dakwah adalah sutau kajian dengan berbagai dimensi. Di satu pihak filsafat dakwah merupakan bagian dari disiplin ilmu dakwah dan di pihak lain, filsafat dakwah menjadi bagian dari filsafat Islam. Menurut pandangan Dzikron Abdullah , filsafat dakwah tidak lebih dari sekedar cara berfikir yang diterapkan untuk memahami secara mendalam dan mendasar segala hal mengenai dakwah. Oleh karena itu, ia berpendapat, filsafat dakwah pada dasarnya berasal dari keilmuan dakwah. Ilmu dakwah itu sendiripun mempunyai pembahasan yang luas, mulai dari teori-teori dakwah, prinsip-prinsip dakwah, konteks dakwah, dan metodelogi dakwah. Dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba memaparkan tentang konteks dakwah yang terfokus pada dakwah nafsiyah yang tak lepas dari segi filsafat. Lebih tepatnya tulisan sederhana akan membahas mengenai filosofis dakwah nafsiyah. Dakwah nafsiyah itu sendiri, secara sederhana memiliki arti dakwah terhadap diri sendiri. Menurut penulis, dakwah nafsiyah ini sangat penting diketahui kemudian diamalkan oleh seorang Da’i ataupun calon Da’i. Karena ada pepatah mengatakan, menasehati orang lain itu mudah, menasehati teman sendiri sulit, dan yang lebih sulit adalah menasehati diri sendiri. Seorang penulis novel dengan nama pena Tere Liye, dalam novelnya yang berjudul “Pulang” juga mengatakan “Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme, ketidakpedulian, ambisi, rasa takut, pertanyaan, dan keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja”. Dari kata mengalahkan diri sendiri itulah menurut penulis quotes novel tersebut sarat akan makna dakwah nafsiyah. Kemudian penulis juga akan memaparkan dasar hukum dakwah nafsiyah, pengertian hingga filosofis yang terkandung dalam dakwah nafsiyah. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Dasar Hukum Dakwah Nafsiyah
يأَ ايُّهَا الذين ءامنوا ْ قُواْ أَنفُسكمْ وَ اَهْلِيكُمْ نَارًا وَ قوْدُها الناسُ وَالحِجَا رَةُ عَليْها مللآئِكَةُ غِلاَظٌ شِدَا دٌ لاّ يَعْصُوْنَ اللهَ
مآ ا اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤ مَروْن.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim, ayat: 6)
Dari ayat di atas kita dapat dipahami bahwa memelihara diri sendiri itu lebih diutamakan artinya dakwah terhadap diri sendiri itu harus.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّا هَا. فأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَا هَا.
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketaqwaan” (Q.S. As-Syams, ayat: 7-8)
Dari surah As-Syams dapat dipahami bahwa dalam jiwa atau diri seseorang ada dua potensi kebaikan dan keburukan maka dari itu penting untuk kita berdakwah terhadap jiwa kita sendiri.
ياايُّهَا الَّذِيْنَ ءَا مَنوْا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُوْن.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. As-Saf, ayat: 2)
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْاما لاَتَفْعَلُوْنَ.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. As-Saf, ayat: 3)
أتَأ مُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَ اَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الكِتَا بَ, اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ.
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab(taurat)? Maka tidakkah kamu berfikir?” (Q.S. Al-Baqarah, ayat:44)
Dari kedua surah di atas yaitu Surah As-Saf dan Surah Al-Baqarah dapat dipahami bahwa sebelum melakukan dakwah terhadap orang lain maka harus terlebih dahulu kita benahi diri kita. Kita tidak diperbolehkan untuk lebih dahulu menyeru kebaikan pada orang lain tetapi kita sama sekali tidak berusaha untuk melakukan kebaikan tersebut. Dari ayat-ayat Alquran inilah maka tercipta konteks dakwah nafsiyah.
Uraian
Pengertian Dakwah Nafsiyah
Menurut konteks bahasa dakwah nafsiyah adalah gabungan dari dua kata dakwah dan nafsiyah, yang dapat dipahami secara sederhana memiliki pengertian berdakwah terhadap diri sendiri atau (intra personal), sebagai upaya untuk membangun kualitas dan kepribadian diri agar menjadi lebih baik. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada diri individu seseorang menuju jalan yang di ridhoi Allah. Dalam hal ini yang menjadi fokus utama sasaran dakwahnya adalah Nafsiyah yaitu jiwa itu sendiri dalam artian sederhana. Karena yang menjadi objek dakwahnya adalah nafs maka sudah sepatutnya kita harus memahami siapa dan bagaimana nafs ini. Jika diperhatikan secara seksama hadits-hadits Rasulullah yang memuat kata nafs akan terlihat bahwa lafal ini digunakan dalam makna yang cukup beragam. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa pembahasan nafs dalam kaitannya dengan kehidupan manusia cukup penting menurut Allah dan Rasulnya.
Dalam rangkaian hadits Rasulullah penggunaan kata nafs dapat ditemukan dalam makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), ,aupun ihsas (sensation) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku. Selain dalam makna diatas, kata nafs didalam hadits terkadang juga digunakan dalam makna zat/esensi manusia yang memiliki kemampuan untuk menilai atau memberi tanggapan terhadap berbagai hal. Lebih lanjut, zat ini pula yang membuat manusia terdorong untuk berusaha mewujudkan keinginan-keinginan yang ada dallam dirinya dengan memanfaatkan berbagai cara atau sarana yang kemungkinan dapat membantunya meraih hal-hal tersebut. Selanjutnya, kata nafs juga dipakai dalam makna ruh, yaitu yang dengannya manusia bisa hidup di atas dunia ini. Dengan kata lain jika nafs ini lepas dari badannya maka seketika itu pula ia akan terlepas dari kehidupan yang sedang dijalaninya. Di dalam Alquran dan hadits Rasulullah cukup banyak disinggung tentang kesucian nafs dalam makna ini, di samping besarnya dosa bagi orang yang mencoba menghilangkannya, baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, tanpa alasan yang dapat dibenarkn syariat. Setelah memahami dan menerti objek dakwahnya maka akan lebih mudah kita untuk melakukan dakwah itu sendiri. Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara manusia (sebagai dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan rohaninya tersebut secara baik dan konsisten dalam rangka meraih kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Metode Dakwah Nafsiyah
Dalam uraian mengenai metode dakwah nafsiyah adalah:
Menuntut Ilmu
مَنْ اَرَادالدُنيَا فَعَلَيْهِ بالْعلْمِ, وَمَنْ ارَا دَالاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بالعلمِ, وَمَن اَرَدَهُمَا فَعَليْه بالعلمِ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehiudupan akhirrat maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”
Dengan berlandaskan hadits diatas maka sangatlah penting menuntut ilmu, ilmu adalah prioritas utama kita dalam menjalani kehidupan. Apalagi jika kita ingin melakukan dakwah, maka harus dengan ilmu. Begitu pula dengan dakwah nafsiyah maka kita juga harus mempunyai bagaimana mungkin kita akan mampu memperbaiki diri kita sendiri tanpa didasari ilmu. Tanpa ilmu, kita tidak akan mengenal diri kita sendiri, kita tak mampu membedakan mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Karenananya metode yang pertama untuk dakwah adalah menuntut ilmu.
Muhasabah Diri
يا ايُهاالذيْنَ آمنو اتَقُوا اللهَ وَالتَنْظُرْ نَفْسُ ما قدَّمَتْ لِغَدٍ, وَتَّقُوا اللهَ, اِنّاللهَ خَبيرٌ بما تعْملوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari akhirat, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Hasyr, ayat: 18)
Dengan surah ini hendaknya agar kita mampu memperbaiki diri maka sering-seringlah muhasabah diri, apa yang telah kita siapkan untuk bekal diakhirat nanti, dan dosa apa-apa saja yang telah kita perbuat sehingga kita menyadari bahwa diri kita harus memperbaiki setiap saat. Dengan muhasabah diri, kita lebih mudah untuk melakukan dakwah nafsiyah, kita lebih mudah untuk berubah menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Maka muhasabah diri adalah salah satu metode dakwah nafsiyah, yang tujuannya agar kita selalu memahami bahwa kita adalah hamba Allah. Maka seyogyanya seorang hamba tentu akan merasa takut membuat Allah marah terhadap kita, karenanya kita akan mudah menjauhi hal-hal yang dilarang Allah. Dan dengan sering muhasabah diri kita akan selalu berusaha memperbaiki diri, yang akan teraplikasikan dengan akhlak kita yang semakin baik.
Banyak Berdzikir
يآ ايُّها الذينَ ءامنوا اذْكُروااللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah) dengan dzikir yang banyak”. (Q.S. Al-Ahzab, ayat: 41)
Metode dakwah nafsiyah selanjutnya adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah, karena dengan memngingat Allah jiwa kita damai, dengan dzikir kita juga menjadi dekat dengan Allah. Dan kedekatan dengan Allah adalah sebuah nikmat yang sangat istimewa. Karenanya jika kita dekat dengan Allah kiat akan lebih mudah mencintai Allah, jika kita sudah mencintai Allah maka semua perintah-Nya kita kerjakan dengan ikhlas, dan hal tersebut tentu akan berdampak pada kondisi kejiwaan kita, sebab jiwa kita adalah milik Allah. Jiwa yang senantiasa mengingat Allah tentu akan terlihat dari perilaku yang baik.
Itulah tiga metode yang menurut penulis metode utama untuk mencapai keberhasilan dakwah nafsiyah, dan masih banyak lagi metode untuk dakwah nafsiyah, namun dalam tulisan ini hanya tiga hal tersebut yang dapat penulis paparkan. Jika tiga metode tersebut sudah dilakukan secara istiqomah, maka untuk metode yang lainnya mudah saja dilakukan.
Hakikat Dakwah Nafsiyah
Dalam hal hakikat dakwah nafsiyah tidak lepas dari ilmu tasawuf. Karena dalam ilmu tasawuf dipelajari mengenai pengenalan diri yang tak lepas dari makna dakwah nafsiyah. Menurut penulis, hakikat dari dakwah nafsiyah agar kita mampu mengenal, memahami, dan mengamalkan ajaran islam secara benar. Dalam mengenal Islam tentu yang pertama kali kita kenal adalah dua kalimat Syahadat. Dan ketika kita memahami apa makna dua kalimat syahadat kita akan menemukan makna yang terkandung dalam dua kalimat syahadat adalah Makrifat dan Ibadah. Makrifat adalah mengenal Allah dan Ibadah adalah mengahambakan diri, mengabdikan diri sebagai hamba Allah. Kemudian bagaimana kita akan mendapatkan dua hal yang terkandung dalam kalimat Syahadat tersebut ? jawabannya adalah dengan menuntut ilmu yang mana merupakan metode dakwah nafsiyah yang pertama. Bagaimana mungkin kita akan mengenal Allah tanpa menuntut ilmu. Bagaimana mungkin kita akan beribadah dengan benar seperti yang dicontohkan Rasulullah tanpa menuntut ilmu. Jika kita sudah mengenal, memahami dua kalimat syahadat maka kita akan mudah mengerjakan rukun islam yang selanjutnya. Sebab kita telah paham apabila kita meninggalkan sholat, puasa, zakat, itu akan merusak syahadat, karena dalam syahadat menagndung makna ibadah tadi.
Filosofis Nafsiyah (Jiwa)
Jiwa adalah harta orang kaya
لَيْسَ الْغِنَي عنْ كَثْرضةشالْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَي غِنَي الْنَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan memiliki banyak harta, tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa” (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas sudah jelas bahwa orang yang jiwanya kaya adalah orang kaya yang sesungguhnya. Dengan hadits tersebut harta sebanyak apapun tidak akan mampu menandingi kekayaan sebuah jiwa.
Jiwa yang tenang jiwa penghuni surga
يأَ يَّتُهَا انَّفسُ المُطْمَئِنَّةُ. اِرْجِعِي الي رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فادْخُلي في عِبادي. وَدْخُلي جَنّتِيز
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridho-Nya. Maka masuklah dalam jama’ah hamba-hambaku. Dan masuklah kedalam syurgaku” (Q.S. Al-Fajr, ayat:27-30)
Dengan ayat diatas maka dapat kita pahami bahwa kunci penghuni surga itu ada pada jiwa seseorang, jika jiwanya bersih, tenang, dan damai maka di telah kembali kepada Allah, dan jiwa yang tenang adalah ciri penghuni syurga.
Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan sederhana ini, dapat kita ambil dari kata-kata sufi (ahli tasawuf) yaitu; مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“ Barangsiapa mengenali dirinya, maka sesungguhnya ia mengenali Tuhannya”.
Dan hubungannya dengan dakwah adalah, bagaimana seorang Da’i akan mengenali Mad’unya, jika ia tidak mengenal dirinya sendiri.
Referensi
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Jumu’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Solo: Era Intermedia, 1997.
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Aagama dan Peradaban Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009.
Saad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, 2007.
Sebelumnya saya berterimakasih dengan tulisan saudara Mia R. Memberi saya pemahaman bagaimana makna Dakwah Nafsiyah. Jazakillah khair, semoga pahalan ilmunya mengalir.🙏
BalasHapus